Padanan kata paling ditakuti kaum wanita, apalagi wanita-wanita dengan status single, tanpa pendamping, tanpa pekerjaan mapan, terlebih tanpa “calon”.
Rasa insecure merangkak naik secara drastis.
Acara tiup lilin kedua puluh lima jadi titik mulainya teror orang tua, masyarakat, dan terlebih teror dari diri sendiri.
Karena saat umur itu tapi keadaan diri sendiri sedang tidak atau belum memuaskan, ketakutan-ketakutan masa depan pasti akan terbayang jelas.
Bagaimana dengan umur seperti itu kita bisa mendapatkan pekerjaan impian, padahal banyak cewek-cewek fresh graduate, umur muda, ingatan masih prima, pinter, muka imut, yang pastinya bakal menyita perhatian para interviewer.
Gimana juga coba dengan umur seperti itu masih bisa mendapatkan prince charming yang mungkin sudah dicap hak milik oleh wanita-wanita lain yang lebih dulu mendapatkan mereka.
Apa kita bisa? Apa kita mampu?
Ketakutan, kebingungan, krisis percaya diri, hidup yang monoton, hidup yang dirasa mendeg jadi pemicu a quarter life crisis syndrome yang kadang mampir ke kehidupan kita.
Nggak adil memang, kita dituntut oleh ketakutan yang nggak beralasan.
Ketakutan-ketakutan yang sebenarnya nggak perlu ada karena hidup pasti mengalami up and down.
Tidak melulu selalu di atas, dan tidak melulu selalu di bawah.
Yang pasti hidup selalu berubah, yang nggak kita tahu adalah ‘kapan’ hidup itu berubah.
Mungkin krisis di usia muda malah membuat kita para wanita lebih beruntung daripada pria.
Mungkin rasa insecure itu membuat kita jadi bisa lebih mempersiapkan diri dalam memikirkan masa depan, memikirkan hidup, dan memikirkan manakah pria atau pekerjaan yang terbaik untuk kita nantinya.
Dibandingkan dengan pria yang kebanyakan merasakan krisis di setengah abad umur mereka, saat perut membuncit, didampingi istri yang cerewet dan anak yang mulai sok ingin bebas dan hidup mandiri namun malah membuat stress orang tua.
Namun kebanyakan dari mereka ‘hanya’ bisa geleng-geleng kepala lantas akhirnya hanya mampu menerima dengan ikhlas tanpa bisa merubah atau menghindari krisis mereka (untunglah).
Muda adalah zona aman, dimana kita masih bergantung kepada orang tua, kehidupan yang memang sudah seharusnya, baik sekolah maupun pergaulan.
Namun berubah menjadi dewasa berarti keluar dari zona aman dan harus masuk ke dunia baru yang didalamnya harus punya tanggung jawab sendiri dan tanggung jawab atas diri sendiri, harus belajar dewasa (karena tuntutan umur pastinya), belajar survive dari cobaan-cobaan dunia nyata, dan belajar menerima apabila hidup nggak selamanya lurus dan mulus.
Jadi, krisis ini seharusnya tidak menjadikan penghambat, namun sebaliknya, cambuk yang kuat untuk kita semakin berkarya.
Karena hidup memang sudah ada pola tersendiri dari awal, nggak mungkin ada kelas akselerasi atau berhenti di tengah jalan.
Jadi, tidak penting jika kita memang diharuskan melewati krisis itu (mau tidak mau), namun yang terpenting adalah menghadapinya dengan cara yang terbaik dan memperoleh outstanding score!!
So finally, we can say,
bye-bye a quarter life crisis syndrome…

(wrote for my1stportfolio for cosmopolitan Indonesia - 6th month a go - never been came interview *padahal dipanggil* - nyesell!!!!!!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar